#30DaysWritingChallenge #Day3
Memasuki hari ketiga dari 30 hari menulis, hari ini menceritakan tentang... kenangan?
Berbicara soal kenangan, semua yang telah terjadi di dalam hidup pastinya memiliki kenangan dan tempat tersendiri di dalam hati, semua berkesan, baik dalam kesan yang indah maupun tidak. Jujur, dalam topik kali ini sebenarnya saya bingung ingin memilih kenangan yang mana yang akan saya ceritakan, karena ya itu tadi, semuanya berkesan.
Tapi baik, saya akan memilih kenangan yang akan saya ceritakan pada hari ketiga ini. Kenangan yang akan saya ceritakan ini dibilang memiliki kesan yang indah juga tidak, dibilang buruk ya juga tidak. Namun, seru!
Ya, ini adalah kisah tentang aksi 24 September 2019, aksi dengan massa yang membludak dari Semanggi hingga Slipi. Aksi yang menguras hati juga energi. Aksi yang membuat saya menangisi tingkah laku para polisi.
Pagi itu berjalan seperti biasa, para mahasiswa kampus saya berkumpul di Pusat Kegiatan Mahasiswa atau yang biasa disebut PKM. Menyiapkan segala sesuatunya, mulai dari absensi, mengurus penyewaan kopaja, memeriksa obat-obatan untuk pertolongan pertama yang akan dibawa, serta menyiapkan atribut seperti aksi-aksi pada umumnya. Tiga buah kopaja siap diberangkatkan ke Senayan dengan mahasiswa yang ada di dalam dan di atas atap kopaja seraya menyanyikan lagu totalitas perjuangan, darah juang, buruh tani, hingga indonesia raya.
Aksi berjalan damai sampai siang hari, saya pun sempat mengantarkan mahasiswa lainnya untuk menunaikan sholat zuhur di masjid Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membelah lautan manusia dari depan gedung DPR RI hingga KLHK karena benar-benar sepadat itu.
Sialnya, saat saya ingin keluar dari KLHK, saat itu juga bersamaan dengan datangnya massa aksi UNJ dari Stasiun Pal Merah. Kalian tahu UNJ? UNJ itu kampus yang paling banyak menurunkan mahasiswanya pada setiap aksi, apapun aksinya. Se-ba-nyak i-tu. Mulai dari Stasiun Pal Merah hingga menuju pintu utama gedung DPR RI dipenuhi oleh massa aksi dari UNJ.
Memasuki sore hari pukul 15.30 semua massa aksi perempuan dievakuasi melalui JPO ke sebrang jalan arah Semanggi. Pukul 16.00 water cannon sudah mulai disemprotkan ke arah massa aksi, pagar-pagar di gedung DPR dikoyak-koyak oleh massa aksi, barikade kawat besi sudah tidak ada harga dirinya lagi, semuanya juga sudah diinjak-injak massa aksi.
Gas air mata mulai ditembakkan, massa aksi mulai berlarian, dan dari situ banyak korban berjatuhan. Mulai dari represifitas aparat, terkena peluru gas air mata hingga kepalanya bocor, dan banyak yang sesak napas sampai pingsan. Saya termasuk yang terkena gas air mata, untungnya teman saya langsung meneteskan obat tetes mata yang sangat ampuh, alhamdulillah jadi bisa langsung lari lagi. Huft.
Massa aksi kampus saya berlari ke arah pemukiman warga di Benhil, hari pun mulai gelap, kami semua mencari solusi untuk keluar dari kericuhan ini. Kopaja kami terjebak di dalam GBK, tentunya tidak bisa keluar karena GBK keos sekali. Beberapa penanggungjawab di BEM juga mengevakuasi mahasiswa yang terpencar ke arah TVRI. Perasaan bingung dan mulai campur aduk, pecahlah tangisan saya dengan teman saya, Nabila. Saya dan Bila menangis sambil berpelukan di depan rumah warga, karena ya, hari ini sekacau itu. Di tengah ke-hectic-an ini, salah satu anggota departemen kominfo BEM pingsan, dan langsung dilariakan ke RSAL Mintohardjo yang dibantu oleh abang ojol.
Saya yang mempunyai tanggungjawab penuh terhadap dia langsung jalan kaki menuju RSAL Mintohardjo, menunggu sampai cairan infusnya habis, setelah itu baru dibolehkan pulang. Selama di rumah sakit, pemandangan yang saya lihat hanyalah mobil ambulan yang tiada henti-hentinya membawa mahasiwa yang penuh darah, kaki patah, tangan patah dan lain sebagainya, sungguh hari yang menguras emosi.
Setelah itu saya kembali ke titik kumpul, anggota departemen kominfo tadi sudah dipulangkan dengan ojek online. Masih memutar pikiran bagaimana cara kembali ke kampus dengan mahasiswa yang masih sebanyak ini. Menyewa angkot? Angkot menolak, ya, semua angkot menolak untuk membawa massa aksi.
Akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta dari Stasiun Karet, kami semua jalan kaki dari titik kumpul menuju Stasiun Karet, lelah yang ada rasanya sudah tidak bisa dirasakan lagi. Semua kebal.
Kita pun terdampar di pinggiran trotoar, karena Stasiun Karet pun dipenuhi oleh lautan manusia, tidak ada kereta yang melintasi Stasiun Karet, semua kereta tertahan di Stasiun Pal Merah. Jadi ya, sia-sia.
Waktu terus berjalan, menunjukkan pukul 22.30. Waktu tuh cepat, ya?
Akhirnya salah satu senior saya memberikan titik cerah, beliau menyarankan untuk memesan grab-car ataupun go-car untuk mengangkut 4-6 mahasiswa permobilnya. Uang transportasinya? Pakai uang mahasiswa yang dikumpulkan pagi hari tadi. Saya pun sampai di kampus pukul 23.30, rasanya sudah mati rasa, mau bilang lelah pun, ya, sudah kelewat lelah.
Bagaimana? Ini bukan kenangan yang indah, kan? Namun tidak buruk juga lah, ya?
Comments
Post a Comment