Terkadang kita ngga sadar kalau hidup kita itu selalu dituntun oleh Sang Pencipta, dituntun untuk menentukan ke arah mana kita harus melangkah hingga akhirnya harus menepi. Sesederhana menemukan isi tulisan yang pas dengan suasana hati dan kondisi kita saat ini.
Bicara soal silent treatment, gue adalah orang yang masih cukup sering melakukan hal buruk itu. Kalau boleh mengilas balik, faktor gue tumbuh seperti ini salah satunya karena orang tua, iya, orang tua gue terutama ayah adalah orang yang hobinya silent treatment kalau dia lagi kesal ataupun marah, bahkan sampai sekarang pun masih seperti itu. Alih-alih membangun komunikasi yang baik terhadap suatu hal yang bikin hati gak enak, ayah justru melakukan silent treatment. Ya tanpa sadar, gue pun tumbuh menjadi demikian.
Gue sangat amat menyadari bahwa hal ini gak baik untuk dilestarikan, tentu ini akan merugikan orang-orang di sekitar kita.
Sekilas yang gue baca, ada dua penyebab yang membuat seseorang melakukan silent treatment; yang pertama, orang itu tau bahwa silent treatment menyakitkan, jadi dia melakukan itu sebagai hukuman untuk orang lain. Kedua, seseorang menyadari bahwa silent treatment adalah hal yang sangat wajar dilakukan.
Pastinya gue ada dialasan nomor dua. Gue merasa itu wajar, apalagi di saat emosi memuncak. Tapi salahnya ialah, setelahnya gue tidak mengomunikasikan dan tidak mengonfirmasi kepada seseorang yang membuat kita melakukan itu.
Bagus jika kita meredam emosi sesaat ketika marah, menjauh dari orang-orang sekitar, dan memberi ruang untuk menenangkan diri sejenak. Tapi setelahnya harus membuat konfirmasi tentang apa-apa aja yang membuat kita kesal dan marah terhadap pihak terkait. Jadi gak bakal ada tuh silent treatment berkepanjangan dan memendam energi negatif di dalam diri.
Gue paham itu sulit, pun gue sendiri merasakannya. Walaupun gue adalah orang yang bisa dibilang ekspresif, tapi untuk mengungkapkan penyebab kita marah ke orang yang bikin kita kesal, rasanya keburu capek. Iya ngga sih? AHAHAH ((butuh validasi))
Biasanya setelah melakukan silent treatment, gue lebih baik kembali seperti semula dengan sendirinya aja, tanpa ada konfirmasi lebih lanjut. Itu kurang baik sebetulnya, tapi diri ini belum cukup mampu.
Nah, itu kan berdasarkan sudut pandang gue sebagai orang yang masih melakukan silent treatment, sekarang gue ingin mengubah sudut pandang gue sebagai orang yang kena imbas dari orang yang melakukan silent treatment ke gue.
Walaupun gue masih cukup sering melakukan itu, jujur, gue juga kesal kalau kena silent treatment dari orang lain. Dampak dari itu ialah kita jadi overthinking sama orang tersebut, iya ngga? Kita sibuk berasumsi terhadap pemikiran orang lain terhadap kita. Padahal semua asumsi kita itu peluang salahnya lebih besar daripada benarnya. Makanya perlu banget untuk berkomunikasi dengan baik, tanpa harus diem-dieman tiada berujung :)
Semua butuh proses, terutama gue di sini. Kalau kalian merasa mendapatkan silent treatment dari gue, mohon untuk ditegur dan langsung ajak komunikasi ya. Soalnya ya itu, kadang kita melakukannya tanpa sadar, hanya memenuhi ego semata.
Yuk, berubah pelan-pelan, menjadi manusia yang lebih baik, yang bisa berkomunikasi dengan baik. Mari minimalisir asumsi, dan maksimalisasi konfirmasi.
Selamat malam!
Comments
Post a Comment