Skip to main content

Yang Perlu Diubah

Terkadang kita ngga sadar kalau hidup kita itu selalu dituntun oleh Sang Pencipta, dituntun untuk menentukan ke arah mana kita harus melangkah hingga akhirnya harus menepi. Sesederhana menemukan isi tulisan yang pas dengan suasana hati dan kondisi kita saat ini.

Bicara soal silent treatment, gue adalah orang yang masih cukup sering melakukan hal buruk itu. Kalau boleh mengilas balik, faktor gue tumbuh seperti ini salah satunya karena orang tua, iya, orang tua gue terutama ayah adalah orang yang hobinya silent treatment kalau dia lagi kesal ataupun marah, bahkan sampai sekarang pun masih seperti itu. Alih-alih membangun komunikasi yang baik terhadap suatu hal yang bikin hati gak enak, ayah justru melakukan silent treatment. Ya tanpa sadar, gue pun tumbuh menjadi demikian.

Gue sangat amat menyadari bahwa hal ini gak baik untuk dilestarikan, tentu ini akan merugikan orang-orang di sekitar kita.

Sekilas yang gue baca, ada dua penyebab yang membuat seseorang melakukan silent treatment; yang pertama, orang itu tau bahwa silent treatment menyakitkan, jadi dia melakukan itu sebagai hukuman untuk orang lain. Kedua, seseorang menyadari bahwa silent treatment adalah hal yang sangat wajar dilakukan. 

Pastinya gue ada dialasan nomor dua. Gue merasa itu wajar, apalagi di saat emosi memuncak. Tapi salahnya ialah, setelahnya gue tidak mengomunikasikan dan tidak mengonfirmasi kepada seseorang yang membuat kita melakukan itu.

Bagus jika kita meredam emosi sesaat ketika marah, menjauh dari orang-orang sekitar, dan memberi ruang untuk menenangkan diri sejenak. Tapi setelahnya harus membuat konfirmasi tentang apa-apa aja yang membuat kita kesal dan marah terhadap pihak terkait. Jadi gak bakal ada tuh silent treatment berkepanjangan dan memendam energi negatif di dalam diri.

Gue paham itu sulit, pun gue sendiri merasakannya. Walaupun gue adalah orang yang bisa dibilang ekspresif, tapi untuk mengungkapkan penyebab kita marah ke orang yang bikin kita kesal, rasanya keburu capek. Iya ngga sih? AHAHAH ((butuh validasi))

Biasanya setelah melakukan silent treatment, gue lebih baik kembali seperti semula dengan sendirinya aja, tanpa ada konfirmasi lebih lanjut. Itu kurang baik sebetulnya, tapi diri ini belum cukup mampu. 

Nah, itu kan berdasarkan sudut pandang gue sebagai orang yang masih melakukan silent treatment, sekarang gue ingin mengubah sudut pandang gue sebagai orang yang kena imbas dari orang yang melakukan silent treatment ke gue.

Walaupun gue masih cukup sering melakukan itu, jujur, gue juga kesal kalau kena silent treatment dari orang lain. Dampak dari itu ialah kita jadi overthinking sama orang tersebut, iya ngga? Kita sibuk berasumsi terhadap pemikiran orang lain terhadap kita. Padahal semua asumsi kita itu peluang salahnya lebih besar daripada benarnya. Makanya perlu banget untuk berkomunikasi dengan baik, tanpa harus diem-dieman tiada berujung :)

Semua butuh proses, terutama gue di sini. Kalau kalian merasa mendapatkan silent treatment dari gue, mohon untuk ditegur dan langsung ajak komunikasi ya. Soalnya ya itu, kadang kita melakukannya tanpa sadar, hanya memenuhi ego semata.

Yuk, berubah pelan-pelan, menjadi manusia yang lebih baik, yang bisa berkomunikasi dengan baik. Mari minimalisir asumsi, dan maksimalisasi konfirmasi.

Selamat malam!

Comments

Popular posts from this blog

Pertemuan Riva dan Rifki

Gunung Merbabu dengan pemandangan Gunung Merapi, 2022 dokumen milik pribadi Pertemuan pertama terjadi saat di perjalanan menuju puncak Gunung Merbabu di waktu subuh. Kami adalah pendaki asing yang tidak mengenal satu sama lain, namun karena hati baiknya, kita bisa saling mengenal, bahkan hingga sekarang. Saat itu kondisi trek menuju puncak Gunung Merbabu cukup licin, karena habis diguyur hujan besar semalaman, dan aku berdua dengan sepupuku tertinggal teman yang lain. "Duluan aja, Mas, kita jalannya lama." "Gapapa, Mba, jalan aja, di belakang udah gak ada pendaki lagi soalnya, masih jauh jaraknya ke pendaki yang lain." Dan setelah aku tengok ke belakang, memang iya, saat itu tersisa kami bertiga, jarak kami jauh dengan pendaki yang di depan, juga pendaki yang di belakang kami. Lalu aku dan si Mas baik ini saling melempar pertanyaan basic ala pendaki yang bertemu di perjalanan.  "Ikut open trip tigadewa, Mas?" "Iya, Mba. Mbanya juga tigadewa?" ...

Me vs My Mind

Memutuskan untuk menjalani hubungan dengan seseorang, berarti juga harus siap dengan segala perubahan sekecil apapun di dalam kehidupan. Aku, yang baru memulai hubungan di umur 24 tahun, masih terus beradaptasi sampai di bulan kesembilan hubungan. Belajar beradaptasi dengan diri sendiri, juga pasangan. Rasanya? Yaa, ternyata cukup membutuhkan energi yang besar. Masih bertanya-tanya, kenapa ya orang lain sanggup untuk memulai hubungan dengan lawan jenis bahkan sejak dari bangku sekolah? Kenapa kok setelah mereka mengakhiri hubungan, mereka bisa dengan mudahnya memulai hubungan kembali dengan orang yang baru? Gimana prosesnya? Dan sesulit apa? Menurutku memutuskan untuk memulai suatu hubungan perlu dipikirkan dengan matang-matang, dan di usia yang matang pula. Setiap hubungan pasti ada dinamika tersendiri; naik-turunnya perasaan, masalah kecil yang muncul silih berganti, timbulnya perasaan 'si paling' dalam hubungan, kurangnya timbal balik, belajar mengerti satu sama lain, melati...

Couldn't Ask For a Better Person

Pertemuan pertama setelah pendakian Gunung Merbabu; Juni 2022 Kiranya sudah satu tahun hubungan ini mengalir dan berlalu bersama ribuan cerita baik yang berkesan hingga hari ini. Hubungan yang aku jalani bersama lelakiku yang baik hatinya dan bijak pikirannya.   Setelah bertemu kamu, narasi doa ku kepada Sang Pencipta menjadi berbeda. Bukan lagi aku yang secara rinci menyebutkan kriteria pasangan keinginanku satu persatu yang menuntut banyak hal di dalamnya. Doaku kali ini hanya satu; meminta untuk semakin diyakinkan tanpa ragu, bahwa aku akan memilih kamu menjadi pasangan hidupku, hingga akhir hayatku. -- Satu tahun yang cukup mudah dan juga lelah untuk kami yang baru pertama kali menjalani suatu hubungan. Memang tidak dipungkiri bahwa hubungan ini memiliki komunikasi yang baik. Aku bisa dengan santai bercerita apapun hingga membicarakan hal-hal yang membuat hatiku tidak nyaman karenanya, dan yang terpenting ia bisa mengatasi segala kekhawatiran yang ada di dalam pikiranku. Sering...